Laman

Jumat, 29 September 2017

Ungkapan Tanpa Makna


Manusia adalah makhluk yang unik sekaligs aneh. Dalam senbuah teori yang populer dikatakan bahwa mereka adalah spesies yang berhasil survive dan menyempurnakan diri dalam sebuah rangkaian evolusi yang panjang yang melibatkan mereka dan lingkungannya. Rangkaian evolusi itu akhirnya memunculkan sebuah individu dengan segala karakter dan kemampuan yang melekat padanya. Mereka adalah satu-satunya mamalia yang mampu berpikir dengan logika hingga dapat menyelesaikan berbagai masalah yang kompleks dalam kehidupannya. Dengan segala kemampuan itulah yang membuat manusia menjadi berbeda dengan makhluk-makhluk hidup lainnya.
Realitanya dalam kehiduan, seringkali kemampuan itu malah semakin menambah masalah yang ada dan membuat kehidupan manusia kian rumit dibandingkan kehidupan makhluk-makhluk lainnya. Kemiskinan, perbudakan, perang dan berbagai pergolakan yang mewarnai kehidupan manusia telah menjadi buah dari keserakahan pengetahuan yang kita miliki. Perkembangan intelektul pada manusia malah sering membuat sebagian manusia menjadi penindas atas manusia yang lainnya. Homo Homini Lupus, Manusia sebagai serigala bagi sesamanya. Ungkapan tersebut mungkin cocok bila kita bangdingkan dengan realita yang terjadi sekarang.
Manusia menciptakan sistem kehidupan mereka sendiri. Dengan perkembangan peradaban mereka membuat urusan mereka kian bertambah banyak dan semakin kompleks dibandingkan makhluk hidup lainnya. Kebutuhan hidup tak lagi hanya sebatas sandang, pangan dan papan. Perkembangan peradaban dan kemajuan teknologi secara tidak langsung juga berbanding lurus terhadap tingkat keragaman kebutuhan hidup manusia. Belum lagi dengan fenomena berkembangnya budaya hedonisme yang memaksa manusia untuk selalu meningkatkan standar hidupnya dan terus bersaing dengan manusia lainnya.
Perilaku hedonisme ini kemudian membawa manusia pada sifat serakah yang semakin tinggi. Persaingan untuk menjadi yang terkuat kemudian menjadikan manusia menggunakan segala cara, termasuk dengan memanfaatkan manusia lainnya. Keserakahan inilah yang membawa manusia untuk memberanikan diri melewati benua dan melintasi samudera luas. Dari penjelajahan samudera ini kemudian berkembang menjadi saling menjajah dan memperbudak manusia-manusia lainnya. Akhirnya yang terjadi adalah kembalinya siklus terkutuk bahwa yang kuat adalah yang berkuasa. Kalau sudah demikian adanya akal atau tidakpun seakan tiada bedanya.
Selain mengandalkan akal, peradaban manusia juga memiliki nilai-nilai dasar dalam tatanan kehidupan yang disebut sebagai agama. Dalam berbagai teologi terpopuler di dunia, sebenarnya terdapat kesamaan tentang nilai-nilai yang mendorong perbuatan baik kepada sesama. Seluruh agama di dunia pada dasarnya telah mengajarkan manusia untuk bertindak baik terhadap orang lain agar kehidupan mereka juga mendapat kebaikan. Ajaran itulah yang tertanam dalam berbagai agama di dunia sebagaimana fungsi dari agama itu sendiri sebagai sarana untuk mengatur kehidupan manusia.
Namun kita juga dihadapkan pada kenyataan bahwa agama yang telah disalahgunakan manusia sebagai senjata untuk memusuhi manusia lainnya. Orang-orang yang tidak sependapat dianggap lawan. Manusia saling menghujat dan mengkafirkan hanya karena berbeda keyakinan. Berbagai tragedi kemanusiaan hingga pertumpahan darah karena masalah agama telah banyak tergores dalam catatan hitam peradaban manusia. Dengan realita seperti itu pantaslah kalau Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.

 Hal ini tentunya membuat miris karena sebagai umat beragama kita tentunya diajarkan untuk berbuat baik kepada sesama. Kita diajarkan bahwa hakikatnya manusia adalah saudara  yang satu dari keturunan Adam. Bukan sebagai hasil evolusi seperti kata Darwin. Dalam agama juga diajarkan bahwa hakikat manusia yang baik adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya dan bersikap baik pada sesamanya. Bahwa sebenarnya jika kita fikiran dan resapi, agama sebernarnya telah mengajarkan kebaikan dan mengatur untuk berbuat baik. Namun entah bagaiman realita yang terjadi malah sebaliknya. Mungkin mamalia serakah ini tidak pernah bisa mengerti ajaran agama yang terlampau tinggi bagi pemahamannya.

Berdikari, Sebuah Celotehan Rakyat Awam


Berdikari atau “Berdiri diatas kaki sendiri” adalah slogan yang serig kita dengarkan digembar-gemborkan oleh beberapa pihak termasuk para penguasa.  Namun, apa sebetulnya berdikari itu? Apakah kita sudah benar-benar Berdikari? Ataukah itu semua hanya slogan yang digembar-gemborkan waktu pilkada untuk meyakinkan jiwa-jiwa polos rakyat kita?
                Berdikari sesungguhnya bukan hanya sekedar kata-kata atau bualan untuk meyakinkan seeseorang. Berdikari harusnya dimaknai secara mendalam esensi yang terdapat didalamnya. Ungkapan “Berdiri di atas Kaki Sendiri” sesungguhnya adalah suatu ungkapan dari kemandirian dan kedigdayaan dalam menghadapi segala tantangan dengan kekuatan sendiri tanpa harus menggantungkan diri dari kekuatan pihak lain. Kuasa untuk menghadapi segala persoalan dalam berbagai hal dengan kekuatan sendiri iniah yang menjadikan sebuah pihak dapat dikatakan berdikari, salah satu bentuk yang termasuk dalam hal ini adalah sebuah negara.

                Negara yang berdikari bukan berarti negara yang sama sekali tidak melakukan kontak dengan negara lain dalam rangka kegiatn ekonomi antar negara. Namun,Suatu negara dapat dikatakan telah berdikari apabila negara itu tidak menggantungkan nasibnya dari kebijakan negara lain. Negara berdikari tidak harus dalam arti dapat memenuhi segala kebutuhannya tanpa interaksi dengan negara lain. Negara berdikari adalah negara yang dengan segala kekuatan dan keterbatasan yang dimilikinya dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa didekte oleh kebijakan negara lain. Kalau demikian, Apa bedanya suatu negara yang kebijakannya dipengaruhi negara lain dengan negara yang belum merdeka? Apa arti kemerdekaan buat negara itu?

Selasa, 19 September 2017

Dampak Pembaharuan Daendels


Dalam mendukung misi utamanya untuk mempertahankan pulau Jawa, Gubernur Jenderal Daendels memerintah dengan tangan besi. Usaha pembaharuannya dalam sistem pemerintahan tampaknya tidak paralel dengan usahanya di bidang kesejahteraan rakyat jawa. Penduduk pribumi bahkan menjadi semakin menderita daripada masa sebelumnya, pertimbangan-pertimbangan liberal telah dikorbankan demi kepentingan militer dan hendak segera memperoleh keuntungan(Daliman, 2012: 17).
Dalam melaksanakan misinya, Daendels membangun Barak-barak militer, Bengkel Senjata( Semarang), pabrik senjata(Surabaya), benteng pertahanan di Weltevreden dan Meester Cornelis(Jatinegara). Semua program pembangunan sarana fisik itu dibangun dengan “Tangan Besi” dengan mengorbankan para penduduk lokal. Salah satu proyek yang kekejamannya masih banyak diingat adalah pada pembangunan Jalan Pos Anyer – Panarukan. Pada pembangunan jalan yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur pulau jawa dengan panjang mencapai 1.000 kilometer ini, Daendels mempekerjakan para penduduk pribumi secara kejam dengan memaksa mereka untuk bekerja secara penuh tanpa adanya upah. Dari kekejaman ini akhirnya membuat pembangunan jalan ini menelan banyak korban jiwa(Anton Haryono, 2011 : 155).
Seluruh Mega-proyek yang dibangun Daendels membuat perbendaharaan pemerintahan kolonial menjadi semakin menipis. Segala cara ditempuhnya untuk mengisi kekosongan tersebut, seperti percetakan uang kertas dalam jumlah besar, penanaman candu sebanyak-banyaknya, memonopoli beras, memaksa bank-bank menyerahkan uang mereka hingga penjualan tanah beserta isinya( termasuk penduduk di dalamnya) kepada pihak swasta.
Dalam kasus penjualan tanah, Daendels dapat dikatakan telah melanggar prinsip-prinsip humanisme dengan menjual tanah- tanah beserta seluruh isinya termasuk penduduk yang tingggal di dalamnya kepad pihak swasta. Padahal ia sendiri melarang orang lain melakukan hal tersebut. Semua itu guna membiayai seluruh proyek raksasa yang sedang ia bangun. Dari beberapa tanah yang dijual Daendels kepada pihak swasta, yang terpenting adalah tanah luas di sekitar Batavia dan seluruh wilayah kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Karena tanah- tanah tersebut bukanlah tanah kosong, maka dengan sendirinya penduduk yang mendiaminya ikut terjual. Yang lebih parah lagi, Daendels tidak membuat peraturan apapun guna melindungi para penduduk tersebut dari kesewenang-wenagan para tuan tanah.
Dalam berhubungan dengan raja- raja Jawa, Daendels menunjukkan sifat yang tidak bijaksana apabila dibandingkan dengan para gubernur jenderal pada masa VOC yang bertindak hati-hati karena keterbatasan militernya. Daendels dalam hal ini bertindak secara lebih tegas menggunakan taktik-taktik kekerasan (Daliman, 2012: 18). Ia menganggap bahwa kedudukan para raja jawa tidak lebih penting dari hanya sebagai bawahan Batavia.
Untuk menunjukkan kekuasaannya, Daendels memerintahkan untuk merombak tata upacara di istana- istana para raja Jawa. Ia memerintahkan agar para residen Belanda juga menggunakan tanda-tanda kebesaran layaknya raja, seperti payung emas serta melarang mereka untuk mengangkat topi ketika memberi hormat kepada raja. Daendels juga berpegang teguh bahwa para residen yang dianggapnya sebagai menetri itu fungsinya tidak hanya sebagai penasehat raja, tetapi juga sebagai duta dari suatu institusi kekuasaaan yang berdaulat atasnya(Anton Haryono, 2011 : 157).
Pada tahun 1810, Daendels bahkan melakukan intervensi untuk memecat Sultan Banten karena menolak untuk menyediakan sejumlah 1.000 tenaga kerja paksa setiap harinya untuk proyek pembangunan benteng pertahanan Daendels di sepanjang selat sunda. Meski sempat melakukan pemberontakan, namun segera dapat dipadamkan oleh Daendels. Kemudian, Daendels menyatakan bahwa Kesultanan Banten dikuasai oleh raja Belanda dan wilayahnya diintegrasikan dengan wilayah- wilayah lain yang diperintah secara langsung(Anton Haryono, 2011 : 156). 
Pada tahun yang sama, di Jawa Tengah juga terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Rangga, Kepala pemerintahan Sultan Yogyakarta untuk wilayah mancanegara. Pemberontakan ini diam-diam telah mendapat dukungan dari Sultan Yogyakarta. Namun, pemberontakan ini dengan mudah dapat ditumpas oleh Daendels. Akibatnya, Sultan Hamengkubuwana II dipaksa menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya yang kini menjadi regent(wakil raja). Selain itu, Daendels juga mengambil uang rampasan sebesar 500.000 gulden dari Yogyakarta.  

DAFTAR PUSTAKA:
Daliman, A, 2012, Sejarah Indonesia abad XIX-awal abad XX, Yogyakarta: Penerbit Ombak
Haryono, Anton, 2011, Sejarah (Sosial)Ekonomi Teori Metodologi Penelitian dan Narasi Kehidupan ,Yogyakarta: USD
Kartodirdjo, Sartono, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama