Laman

Selasa, 19 September 2017

Dampak Pembaharuan Daendels


Dalam mendukung misi utamanya untuk mempertahankan pulau Jawa, Gubernur Jenderal Daendels memerintah dengan tangan besi. Usaha pembaharuannya dalam sistem pemerintahan tampaknya tidak paralel dengan usahanya di bidang kesejahteraan rakyat jawa. Penduduk pribumi bahkan menjadi semakin menderita daripada masa sebelumnya, pertimbangan-pertimbangan liberal telah dikorbankan demi kepentingan militer dan hendak segera memperoleh keuntungan(Daliman, 2012: 17).
Dalam melaksanakan misinya, Daendels membangun Barak-barak militer, Bengkel Senjata( Semarang), pabrik senjata(Surabaya), benteng pertahanan di Weltevreden dan Meester Cornelis(Jatinegara). Semua program pembangunan sarana fisik itu dibangun dengan “Tangan Besi” dengan mengorbankan para penduduk lokal. Salah satu proyek yang kekejamannya masih banyak diingat adalah pada pembangunan Jalan Pos Anyer – Panarukan. Pada pembangunan jalan yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur pulau jawa dengan panjang mencapai 1.000 kilometer ini, Daendels mempekerjakan para penduduk pribumi secara kejam dengan memaksa mereka untuk bekerja secara penuh tanpa adanya upah. Dari kekejaman ini akhirnya membuat pembangunan jalan ini menelan banyak korban jiwa(Anton Haryono, 2011 : 155).
Seluruh Mega-proyek yang dibangun Daendels membuat perbendaharaan pemerintahan kolonial menjadi semakin menipis. Segala cara ditempuhnya untuk mengisi kekosongan tersebut, seperti percetakan uang kertas dalam jumlah besar, penanaman candu sebanyak-banyaknya, memonopoli beras, memaksa bank-bank menyerahkan uang mereka hingga penjualan tanah beserta isinya( termasuk penduduk di dalamnya) kepada pihak swasta.
Dalam kasus penjualan tanah, Daendels dapat dikatakan telah melanggar prinsip-prinsip humanisme dengan menjual tanah- tanah beserta seluruh isinya termasuk penduduk yang tingggal di dalamnya kepad pihak swasta. Padahal ia sendiri melarang orang lain melakukan hal tersebut. Semua itu guna membiayai seluruh proyek raksasa yang sedang ia bangun. Dari beberapa tanah yang dijual Daendels kepada pihak swasta, yang terpenting adalah tanah luas di sekitar Batavia dan seluruh wilayah kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Karena tanah- tanah tersebut bukanlah tanah kosong, maka dengan sendirinya penduduk yang mendiaminya ikut terjual. Yang lebih parah lagi, Daendels tidak membuat peraturan apapun guna melindungi para penduduk tersebut dari kesewenang-wenagan para tuan tanah.
Dalam berhubungan dengan raja- raja Jawa, Daendels menunjukkan sifat yang tidak bijaksana apabila dibandingkan dengan para gubernur jenderal pada masa VOC yang bertindak hati-hati karena keterbatasan militernya. Daendels dalam hal ini bertindak secara lebih tegas menggunakan taktik-taktik kekerasan (Daliman, 2012: 18). Ia menganggap bahwa kedudukan para raja jawa tidak lebih penting dari hanya sebagai bawahan Batavia.
Untuk menunjukkan kekuasaannya, Daendels memerintahkan untuk merombak tata upacara di istana- istana para raja Jawa. Ia memerintahkan agar para residen Belanda juga menggunakan tanda-tanda kebesaran layaknya raja, seperti payung emas serta melarang mereka untuk mengangkat topi ketika memberi hormat kepada raja. Daendels juga berpegang teguh bahwa para residen yang dianggapnya sebagai menetri itu fungsinya tidak hanya sebagai penasehat raja, tetapi juga sebagai duta dari suatu institusi kekuasaaan yang berdaulat atasnya(Anton Haryono, 2011 : 157).
Pada tahun 1810, Daendels bahkan melakukan intervensi untuk memecat Sultan Banten karena menolak untuk menyediakan sejumlah 1.000 tenaga kerja paksa setiap harinya untuk proyek pembangunan benteng pertahanan Daendels di sepanjang selat sunda. Meski sempat melakukan pemberontakan, namun segera dapat dipadamkan oleh Daendels. Kemudian, Daendels menyatakan bahwa Kesultanan Banten dikuasai oleh raja Belanda dan wilayahnya diintegrasikan dengan wilayah- wilayah lain yang diperintah secara langsung(Anton Haryono, 2011 : 156). 
Pada tahun yang sama, di Jawa Tengah juga terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Rangga, Kepala pemerintahan Sultan Yogyakarta untuk wilayah mancanegara. Pemberontakan ini diam-diam telah mendapat dukungan dari Sultan Yogyakarta. Namun, pemberontakan ini dengan mudah dapat ditumpas oleh Daendels. Akibatnya, Sultan Hamengkubuwana II dipaksa menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya yang kini menjadi regent(wakil raja). Selain itu, Daendels juga mengambil uang rampasan sebesar 500.000 gulden dari Yogyakarta.  

DAFTAR PUSTAKA:
Daliman, A, 2012, Sejarah Indonesia abad XIX-awal abad XX, Yogyakarta: Penerbit Ombak
Haryono, Anton, 2011, Sejarah (Sosial)Ekonomi Teori Metodologi Penelitian dan Narasi Kehidupan ,Yogyakarta: USD
Kartodirdjo, Sartono, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar