Dalam
mendukung misi utamanya untuk mempertahankan pulau Jawa, Gubernur Jenderal
Daendels memerintah dengan tangan besi. Usaha pembaharuannya dalam sistem
pemerintahan tampaknya tidak paralel dengan usahanya di bidang kesejahteraan
rakyat jawa. Penduduk pribumi bahkan menjadi semakin menderita daripada masa
sebelumnya, pertimbangan-pertimbangan liberal telah dikorbankan demi
kepentingan militer dan hendak segera memperoleh keuntungan(Daliman, 2012: 17).
Dalam
melaksanakan misinya, Daendels membangun Barak-barak militer, Bengkel Senjata(
Semarang), pabrik senjata(Surabaya), benteng pertahanan di Weltevreden dan
Meester Cornelis(Jatinegara). Semua program pembangunan sarana fisik itu
dibangun dengan “Tangan Besi” dengan mengorbankan para penduduk lokal. Salah satu
proyek yang kekejamannya masih banyak diingat adalah pada pembangunan Jalan Pos
Anyer – Panarukan. Pada pembangunan jalan yang membentang dari ujung barat
hingga ujung timur pulau jawa dengan panjang mencapai 1.000 kilometer ini,
Daendels mempekerjakan para penduduk pribumi secara kejam dengan memaksa mereka
untuk bekerja secara penuh tanpa adanya upah. Dari kekejaman ini akhirnya
membuat pembangunan jalan ini menelan banyak korban jiwa(Anton Haryono, 2011 :
155).
Seluruh
Mega-proyek yang dibangun Daendels membuat perbendaharaan pemerintahan kolonial
menjadi semakin menipis. Segala cara ditempuhnya untuk mengisi kekosongan
tersebut, seperti percetakan uang kertas dalam jumlah besar, penanaman candu
sebanyak-banyaknya, memonopoli beras, memaksa bank-bank menyerahkan uang mereka
hingga penjualan tanah beserta isinya( termasuk penduduk di dalamnya) kepada
pihak swasta.
Dalam
kasus penjualan tanah, Daendels dapat dikatakan telah melanggar prinsip-prinsip
humanisme dengan menjual tanah- tanah beserta seluruh isinya termasuk penduduk
yang tingggal di dalamnya kepad pihak swasta. Padahal ia sendiri melarang orang
lain melakukan hal tersebut. Semua itu guna membiayai seluruh proyek raksasa
yang sedang ia bangun. Dari beberapa tanah yang dijual Daendels kepada pihak
swasta, yang terpenting adalah tanah luas di sekitar Batavia dan seluruh
wilayah kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Karena tanah- tanah tersebut
bukanlah tanah kosong, maka dengan sendirinya penduduk yang mendiaminya ikut
terjual. Yang lebih parah lagi, Daendels tidak membuat peraturan apapun guna
melindungi para penduduk tersebut dari kesewenang-wenagan para tuan tanah.
Dalam
berhubungan dengan raja- raja Jawa, Daendels menunjukkan sifat yang tidak
bijaksana apabila dibandingkan dengan para gubernur jenderal pada masa VOC yang
bertindak hati-hati karena keterbatasan militernya. Daendels dalam hal ini
bertindak secara lebih tegas menggunakan taktik-taktik kekerasan (Daliman,
2012: 18). Ia menganggap bahwa kedudukan para raja jawa tidak lebih penting
dari hanya sebagai bawahan Batavia.
Untuk
menunjukkan kekuasaannya, Daendels memerintahkan untuk merombak tata upacara di
istana- istana para raja Jawa. Ia memerintahkan agar para residen Belanda juga
menggunakan tanda-tanda kebesaran layaknya raja, seperti payung emas serta
melarang mereka untuk mengangkat topi ketika memberi hormat kepada raja.
Daendels juga berpegang teguh bahwa para residen yang dianggapnya sebagai
menetri itu fungsinya tidak hanya sebagai penasehat raja, tetapi juga sebagai
duta dari suatu institusi kekuasaaan yang berdaulat atasnya(Anton Haryono, 2011
: 157).
Pada
tahun 1810, Daendels bahkan melakukan intervensi untuk memecat Sultan Banten
karena menolak untuk menyediakan sejumlah 1.000 tenaga kerja paksa setiap
harinya untuk proyek pembangunan benteng pertahanan Daendels di sepanjang selat
sunda. Meski sempat melakukan pemberontakan, namun segera dapat dipadamkan oleh
Daendels. Kemudian, Daendels menyatakan bahwa Kesultanan Banten dikuasai oleh
raja Belanda dan wilayahnya diintegrasikan dengan wilayah- wilayah lain yang
diperintah secara langsung(Anton Haryono, 2011 : 156).
Pada
tahun yang sama, di Jawa Tengah juga terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh
Raden Rangga, Kepala pemerintahan Sultan Yogyakarta untuk wilayah mancanegara.
Pemberontakan ini diam-diam telah mendapat dukungan dari Sultan Yogyakarta.
Namun, pemberontakan ini dengan mudah dapat ditumpas oleh Daendels. Akibatnya,
Sultan Hamengkubuwana II dipaksa menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya yang
kini menjadi regent(wakil raja). Selain itu, Daendels juga mengambil uang
rampasan sebesar 500.000 gulden dari Yogyakarta.
DAFTAR
PUSTAKA:
Daliman, A, 2012, Sejarah Indonesia abad XIX-awal abad XX,
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Haryono, Anton, 2011, Sejarah (Sosial)Ekonomi Teori Metodologi
Penelitian dan Narasi Kehidupan ,Yogyakarta: USD
Kartodirdjo, Sartono,
1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar